Featured image of post Pulang (Bagian ke-2)

Pulang (Bagian ke-2)

Surabaya-Majalengka, 695km

4-7 Juli 2025

695km

Surabaya-Surakarta-Yogyakarta-Kebumen-Cilacap-Ciamis-Majalengka

Libur semester telah datang, walaupun masih ada beberapa hal yang perlu diurus dan diselesaikan di kampus. Diri benar-benar merasakan libur setelah dua minggu kalender perkuliahan usai, saat itu barulah hidup benar-benar bebas dari hiruk pikuk dunia kuliah, saatnya pulang. Pulang memang hal yang mungkin biasa saja, saya telah beberapa kali juga pulang. Namun, kisah pulang akan saya tulis jika dalam perjalanannya berkesan. Sebenarnya, ini bukan kali pertama perjalanan pulang ini begitu berkesan, tapi karena perjalanan yang pertama sudah begitu lama terjadi, maka mari langsung saja ke bagian yang kedua.

Rute perjalanan.

Motor Yamaha Alfa produksi tahun 1989 menjadi tunggangan saya dalam perjalanan ini. Syukurlah motor itu kuat menempuh jalan sejauh 695km. Satu teman kuliah juga turut ikut serta dalam menjajah aspal dan debu jalur pantai selatan dengan Yamaha RX Kingnya. Kami berdua berangkat dari Surabaya pada pukul 02.00 pagi.

Pagi itu jalanan begitu sunyi, hanya lampu jalan yang menemani kami di dini hari. Suara knalpot 2-tak dari masing-masing motor kami terdengar sangat merdu, saling sahut, seolah-olah kegirangan atas perjalanan yang akan dimulai. Kami tidak banyak berbicara, sesekali saja saat di lampu merah, entah karena masih mengantuk, atau memang menikmati kesunyian Kota Surabaya yang hanya terjadi di dini hari. Entah mengapa saya sangat bersemangat dengan perjalan kali ini. Perasaan seperti ini jarang sekali dirasakan saat rutinitas kuliah membelenggu keseharian saya.

Kami berhenti di Mojokerto, sekalian mengisi bensin untuk si kuda besi tua yang sangat haus (2-tak boros wak). Jalan sebentar dari SPBU, motor teman saya lupa diisikan oli samping (oli khusus motor 2-tak), akhirnya kami berdua menepi sebentar di sebuah bengkel kecil di Trowulan, tempat dimana dahulu Majapahit menjadikannya pusat pemerintahan. Di bengkel yang kecil itu, suasana Trowulan begitu tenang, sulit membayangkan jika ratusan tahun yang lalu tempat ini adalah pusat kekuasaan nusantara.

Sampai Trowulan.

Pukul 08.00 kami sampai di Caruban, Madiun. Disini rantai dari motor RX King teman saya putus. Akhirnya kami menepi kembali di bengkel, sekalian istirahat dan mendinginkan mesin motor yang overheat.

Rantai putus.

Perjalanan dilanjutkan melewati Ngawi, Surakarta, Klaten, sampai Yogyakarta. Di Daerah Istimewa Yogyakarta kami menginap di kost teman saya yang berkuliah disana. Malamnya, kami ngopi terlebih dahulu sekalian berkeliling di satu-satunya daerah yang masih di kelola oleh Keraton ini.

Ngawi. Yogyakarta, depan kost teman.

Dari Yogyakarta, kami melanjutkan perjalanan melalui Jl. Daendels menuju Cilacap. Saya sempat mengira bahwa jalan ini dibangun oleh Hermann Willem Daendels. Namun, jalan di selatan ini dipercaya dibangun oleh anaknya, yaitu August Dirk Daendels. Jalan tersebut membentang lurus sejauh ±65km (termasuk Jl. Diponegoro).

Setelah Jl. Daendels habis, kami melewati jalan arah Pantai Menganti. Jalan tersebut sangat amat curam dan berkelok-kelok, sangat menyiksa motor tua kami. Ditambah motor Yamaha Alfa saya yang sistem pengeremannya masih tromol, menambah adrenalin saya saat melintasi jalan itu. Di tengah jalan, kami sempatkan untuk berhenti terlebih dahulu untuk mendinkan mesin dan juga rem agar tetap aman melewati jalan yang cukup ekstrim.

Mendinginkan mesin dan rem.

Perjalanan menuju Cilacap benar-benar menguras tenaga dan pikiran kami, ditambah menunggangi motor tua yang perlu keterampilan ekstra dalam mengemudikannya. Momen-momen sulit seperti ini lah yang berharga. Memang mungkin seperi itulah pulang, tidak selalu nyaman, namun bermakna.

Kami sampai di Cilacap pada pukul 22.30, memakan waktu sekitar 6 jam dari Yogyakarta karena menepi lumayan lama di Kebumen. Kota Cilacap begitu terang saat malam hari akibat nyala cerobong gas buang Pertamina RU IV Cilacap. Kota ini menjadi tujuan akhir bagi teman saya dan RX Kingnya, saya ikut bermalam di rumahnya untuk melankutkan perjalanan di esok hari.

Halo, Cilacap!

Setelah semalam menerima sambutan hangat di Cilacap, esoknya saya langsung berangkat menuju Ciamis. Sayang dalam perjalanan kali ini tidak sempat untuk berkeliling Cilacap, padahal ingin sekali saya mengunjungi Fort Pendem yang masih berdiri kokoh dan Pulau Nusakambangan tempat orang-orang ditahan dan dihukum. Cilacap, kota yang saya lalui ternyata dilalui juga oleh mereka yang mencari, menaklukan, dan bahkan diasingkan.

Cilacap.

Dalam perjalanan menuju Ciamis saya diantar oleh teman saya sampai daerah Sidareja, dari sana saya melanjutkan perjalan seorang diri sampai Ciamis. Semakin jalan ke barat, udara terasa lebih segar, pohon-pohon semakin rapat, dan suara ranting diterpa angin semakin terdengar. Sampai perbatasan Jawa Barat, hati terasa lapang, menandakan rumah yang dituju semakin dekat. Sampurasun Bumi Pasundan.

Perbatasan Jawa Barat terasa begitu megah, gerbang masuk dan keluarnya berupa tugu kujang raksasa di kiri dan kanan jalan, dengan aksen aksara sunda dan lambang Provinsi di setiap tugunya.

Disamping tugu kujang, terdapat patung harimau dan prajurit yang memegang tombak serta senjata api milik Kodam III Siliwangi. Di depannya tertulis “Siliwangi adalah rakyat Jawa Barat, Rakyat Jawa Barat adalah Siliwangi” yang menegaskan bahwa semangat Siliwangi bukan hanya milik tentara semata, melainkan milik seluruh rakyat Jawa Barat. Siliwangi bagi penduduk Jawa Barat bukan hanya sosok tunggal, melainkan semangat, nilai, dan identitas.

Sampurasun, Bumi Pasundan!

Yah, lanjut kembali ke perjalanan menuju Ciamis. Dari perbatasan, saya melewati Kota Banjar, gerbang utama yang memghubungkan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Jalan mulai naik turun, khas jalan Jawa Barat. Hari mulai gelap, udara semakin dingin.

Sampai di Ciamis saya menepi di Indomaret depan Universitas Galuh, beristirahat sembari menunggu teman datang. Tebak saya akan kemana, karena dari Ciamis saya tidak langsung menuju rumah. Menunggu beberapa menit teman saya tiba, kami berdua langsung bersiap-siap dan membeli beberapa kebutuhan untuk perjalanan nanti.

Perjalanan dilanjut menuju barat, arah Tasikmalaya, mengitari Gunung Sawal. Di Cihaurbeuti, kami belok kanan ke arah Panumbangan, lalu naik menuju camp ground Puncak Jamiaki. Ya, cukup nekat memang setelah perjalanan jauh dari Surabaya untuk langsung naik ke salah satu puncak di Gunung Sawal, ditambah trekking dari posko penukaran tiket menuju aream camp yang cukup memakan tenaga karena kemiringan jalannya yang sangat curam.

Posko Puncak Jamiaki.

Trekking menuju Puncak Jamiaki memakan waktu ±40 menit. Sampai di puncak waktu sudah menunjukan pukul 22.30. Udara dingin di puncak masih bisa diterima oleh tubuh (masih bisa koloran coy). Setelah memasang tenda, memasak, dan menyeduh kopi, kami menikmati pemandangan citylight dari Ciamis, Tasikmalaya, dan daerah lainnya. Malam itu, saya senang sekali karena tanah kelahiran sudah semakin dekat, rasa lelah perjalanan ditambah mendaki terbayar lunas.

Citylight dari Puncak Jamiaki.

Pagi harinya, Puncak Jamiaki diselimuti kabut tebal. Pemandangan tertutup kabut. Permukaan tanah lumayan becek akibat hujan semalam. Meski begitu, saya tetap senang, karena perjalanan panjang akan berakhir hari ini.

Turun dari puncak, kami langsung menuju tujuan akhir, rumah. Kami melewati Panumbangan, Panjalu, dan Malausma. Tidak ada yang menarik dari perjalanan dari Jamiaki menuju rumah, karena mungkin saya sendiri sudah tidak sabar untuk mengakhiri kisah panjang ini.

Pukul 12.00, saya sampai. Tak ada sambutan luar biasa, hanya aroma rumah yang tak berubah meski sudah lama saya tinggalkan. Tapi mungkin inilah pulang, sederhana namun selalu saya rindukan.

Sampai rumah.

Perjalanan 695 km itu memakan waktu 4 hari 3 malam, 29,6 liter bahan bakar Pertamax, dan 1,7 oli samping. Tak terhitung berapa kali saya menepi, berteduh, atau sekadar meredakan pegal. Tapi yang sulit untuk dihitung mungkin adalah berapa banyak pikiran, kenangan, dan rasa yang muncul selama perjalanan itu.

Dan untuk kali ini, terimakasih Tuhan karena diberikan kesempatan untuk pulang, masih bisa menempuh jalan panajang, menaiki motor tua butut, dan menyusuri setiap jengkal ciptaan-Mu.

Sekian,

Zhafir Atha.

Built with Hugo
Theme Stack designed by Jimmy